Buku Pendamping Guru Tentang HAM

Pasal 89 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa “Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam penyuluhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan upaya peningkatan kesadaran masyarakat tentang hak asasi manusia melalui lembaga pendidikan formal dan non formal serta berbagai ka - langan lainnya”. Akan tetapi Pelaksanaan fungsi ini masih bisa dikatakan belum sepenuhnya menjadi bahan perhatian dan fokus dari Subkomisi Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM , tetapi lebih cenderung selama ini kepada pemangku kepentingan lainnya semisal polisi, aparatur pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh agama dan masyarakat secara luas.

Menyadari kondisi tersebut, pelaksanaan kegiatan Focus Group Discusion (FGD) bagi guru menjadi sangat berarti dan setidaknya menjawab kekurangan fokus kegiatan se - bagaimana diamanatkan dalam UU No. 39 T ahun 1999. Penanaman nilai-nilai hak asasi manusia seharusnya memang dilakukan kepada generasi muda khususnya anak-anak dengan terlebih dulu menyasar guru sebagai pihak yang nantinya akan menyampaikan kepada peserta didik, khususnya guru-guru pada sekolah formal.

Penyusunan B uku Pendamping Guru pengampu mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan untuk SMA/SMK merupakan salah satu upaya Komnas HAM dalam berkontribusi bagi penyebarluasan wawasan HAM dan peningkatan kesadaran masyarakat tentang HAM. Pelaksanaan kegiatan ini yang didahului dengan penyelenggaraan FGD dimaksudkan sebagai upaya “merawat” para alumni pelatihan dan/atau Training on Trainer (ToT) yang telah dilakukan Komnas HAM bagi guru yang tersebar di tiga provinsi: Jakarta; Banten; dan Lampung. Gambaran yang diperoleh Komnas HAM selama FGD akan memberikan panduan dan kejelasan bagi penyusunan buku pendamping di - maksud.

Buku pendamping ini diharapkan akan membantu para guru dalam proses pembelajaran dan sekaligus memudahkan peserta didik memahami nilai-nilai HAM. Selain itu dalam Buku Pendamping Guru ini juga diberikan penjelasan secara ringkas tentang dasar- dasar pengetahuan tentang HAM sebagai upaya memberikan pemahaman secara benar kepada guru tentang HAM.

Persoalan HAM dalam Dunia Pendidikan 

Sekolah seharusnya menjadi tempat aman dan nyaman kedua setelah keluarga bagi anak/peserta didik dalam bersosialisasi, mengembangkan potensinya, bahkan menemukan jati dirinya. Namun sangat disayangkan dalam lima tahun terakhir fenomena tindak kekerasan di sekolah makin marak terjadi, bukan saja kekerasan dalam bentuk fisik namun juga psikis dan seksual, yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Pelakunya bukan hanya guru namun juga tenaga kependidikan, pegawai di lingkungan sekolah dan peserta didik sendiri.

Menurut riset yang dilakukan Plan Indonesia tahun 2011 di Kota Bogor yang melibatkan 300 peserta didik SD, SMP dan SMA menunjukkan 15,3% peserta didik SD, 18% peserta didik SMP dan 16% peserta didik SMA mengaku pernah mengalami kekerasan di sekolah. Sedangkan pada aspek pelaku, 14,7% kekerasan di sekolah dilakukan oleh guru dan 35,3% dilakukan oleh sesama teman 1 . Pada tahun 2013 Plan Indonesia dan International Center for Research on Women (ICRW) kembali melakukan riset yang hasilnya menunjukkan 84% anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah. Angka tersebut lebih tinggi dari tren di kawasan Asia yakni 70%. Data yang dirilis awal Maret 2015 menunjukkan fakta mencengangkan terkait kekerasan anak di sekolah. Riset ini dilakukan di 5 negara Asia, yakni Vietnam, Kamboja, Nepal, Pakistan, dan Indonesia yang diambil dari Jakarta dan Serang, Banten. Survei diambil pada Oktober 2013 hingga Maret 2014 dengan melibatkan 9 ribu peserta didik usia 12-17 tahun, guru, kepala sekolah, orang tua , dan perwakilan LSM. (Nafiysul Qodar – Liputan 6 online).

Sementara itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2012 telah merilis hasil surveinya terhadap 1.026 responden peserta didik yang menunjukkan 87,6% anak mengaku pernah mengalami kekerasan di lingkungan sekolah dalam berbagai bentuk, di mana dari angka tersebut 29,9% kekerasan dilakukan oleh guru, 42,1% dilakukan teman sekelas dan 28,0% dilakukan oleh teman dari kelas lain. 2 Komnas HAM juga mencatat pada tahun 2014 setidaknya telah menerima pengaduan terkait dengan dugaan pelanggaran terhadap hak anak sejumlah 54 berkas pengaduan dan meningkat pada tahun 2015 menjadi 57 berkas pengaduan. Sedangkan pengaduan terkait dengan dugaan pelanggaran HAM terhadap hak atas pendidikan sepanjang Tahun 2014-2015 tercatat sejumlah 175 berkas pengaduan yang diterima Komnas HAM.

Pelanggaran terhadap hak anak yang dilaporkan antara lain terkait dengan penghalangan orang tua untuk bertemu dengan anaknya, pencampuran dengan tahanan dewasa, penangkapan dan penahanan terhadap anak secara sewenang- wenang, kekerasan/pemukulan terhadap anak, proses hukum yang mengabaikan hak anak, penelantaran anak dan lain sebagainya. Pelanggaran terhadp hak atas pendidikan terutama terkait dengan penahanan ijazah dan rapor, penghentian kegiatan belajar mengajar, penyalahgunaan dana pendidikan dan pungutan tidak resmi, diskriminasi dalam pendidikan terkait dengan disabilitas, penjatuhan sanksi secara sewenang-wenang, pengeluaran dari sekolah, perlakuan diskriminatif terhadap siswa korban perkosaan, tindak kekerasan di lingkungan sekolah dan lain sebagainya. 3 Maraknya tindak kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah ditengarai berawal dari lingkaran kekerasan yang berasal dari internal dunia pendidikan sendiri yakni pola pembelajaran yang mengedepankan kekerasan dengan berdalih pada alasan menegakkan disiplin, bentuk dari sanksi atau hukuman atas pelanggaran tata tertib, menunjukkan rasa solidaritas atau bahkan dianggap sebagai bagian dari proses pencarian jati diri peserta didik.

Kekerasan juga muncul dalam bentuk simbolik melalui buku-buku pelajaran yang justru dampaknya sangat luas karena hal tersebut diajarkan di dalam kelas sehingga mempengaruhi peserta didik dan seolah menjadi legitimasi atas tindak kekerasan. 4 Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengatur bahwa yang dimaksud dengan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pada pasal 4 ayat (1) ditegaskan “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”. Artinya, pendidikan yang dilakukan di Indonesia harus mengedepankan hak asasi manusia, tidak boleh ada tindakan diskriminatif apalagi kekerasan, karena kekerasan apapun bentuknya adalah sebuah tindakan yang melanggar hak asasi manusia (HAM), apalagi kekerasan yang jelas-jelas dilakukan di lingkungan pendidikan oleh pihak-pihak yang memiliki tanggung jawab untuk memberikan perlindungan atas diri anak sebagai peserta didik. 

Kekerasan dalam Masa Orientasi Sekolah bagi peserta didik baru (MOS), tawuran, bullying, pelecehan seksual, kekerasan oleh guru atau tenaga kependidikan lain dan mungkin masih banyak lagi bentuk-bentuk kekerasan lain yang terjadi di lingkungan sekolah menjadi potret buram pendidikan di Indonesia. Pasal (3) UU No. 20 tahun 2003 menyebutkan fungsi pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Menjadi suatu kebutuhan yang sangat penting adanya perubahan pola atau metode pendidikan dan kebijakan pendidikan yang benar-benar mengedepankan pemberdayaan (empowerment) bagi peserta didik. 
 Pendidikan yang tidak hanya mengejar aspek kognitif namun juga pendidikan karakter serta pendidikan yang mengedepankan sikap toleransi, non diskriminasi dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan sinergi dari semua unsur yang mendukung pelaksanaan pendidikan yaitu kebijakan sekolah, kurikulum dan pembelajaran, etos dan budaya sekolah serta relasi antar semua elemen pelaksana pendidikan. Pendidikan karakter menjadi perhatian pemerinta h yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 81A Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum 2013 yang menekankan pentingnya pendidikan karakter selain pendidikan yang bersifat pengetahuan (knowledge) dan keterampilan (skill) . 

Melalui pendidikan karakter ini diharapkan tindak kekerasan yang terjadi di sekolah dalam bentuk tindakan, ucapan maupun simbolik melalui materi/buku pelajaran dapat diminimalisir dan dihilangkan. Salah satu materi yang mendukung pendidikan karakter adalah materi Hak Asasi Manusia (HAM) yang sejak KTSP 2006 berlanjut dengan Kurikulum 2013 melekat dalam mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Selain itu, materi-materi pembahasan lain dalam mata pelajaran PPKn melalui revisi Kurikulum 2013 (Kurtilas) nampaknya juga mulai mengintegrasikan HAM dengan terminologi hak dan kewajiban. Namun sayangnya, dalam rangka pembelajaran HAM tersebut khususnya guru kurang dibekali dengan pemahaman yang tepat tentang HAM, sehingga masih muncul perbedaan-perbedaan penafsiran dan pemahaman di kalangan guru itu sendiri. Hal ini tentu saja sangat berdampak bagi penyampaian materi kepada peserta didik secara khusus materi HAM maupun nilai-nilai HAM yang terintegrasi dalam materi-materi lain.